Cerita Pendek Digital SMAN 68

Faris Rineksa P
XI MIA 2



Mungkin Besok Aku Coba Lagi
     Semerbak asap rokok dipagi hari sudah membuat diri ini terbatuk, ditemani secangkir kopi dengan sebungkus bubur ayam yang biasa aku beli. Kawasan kumuh penuh anarki sudah membuatku terbiasa dengan kejadian buruk yang menimpa orang lain. Namaku Ali umurku 17 tahun, duduk di bangku kelas 2 SMA. Tampak sunyi rumahku sembari menulis cerita ini, yang biasanya banyak suara bising tentang buah bibir di penhujung gedung. Hari - hariku terasa begitu membosankan, hanya sekedar menuntut ilmu,  bercengkrama di tempat yang tidak seharusnya dikunjungi, lalu pulang kerumah dengan wajah lesuh tanpa harga diri. Aku mulai berpikir tentang percikan baru yang ingin aku ubah di hidupku. Terjadilah kejaidan itu.
     Angka 2 ditunjukkan oleh jam dinding diatas meja. Aku bertanya kepada diriku kenapa bisa terbangun di pagi yang buta ini, belum juga fajar memanggil atau ayam mulai bernyanyi. Sulit untuk kembali terlelap. Menyeduh kopi dan aku mulai duduk di halaman rumah dengan 2 batang hal yang harusnya tidak di hisap oleh remaja seusiaku, memikirkan apa yang akan dilakukan di sekolah nanti. Suara dari masjid pun mulai berkumandang "oh itu adzan " kata diriku. Dengan santai berbicara seperti itu tanpa menhiraukan panggilan sholat. Motor mulai kupanaskan, waktu sekolah sebentar lagi dimulai. Seperti biasa aku menjemput temanku fiki, anak dari suku papua berkulit hitam langsat. Sesampainya di sekolah Aku dan Fiki langsung menuju ke kelas. Upacara bendera akan segera dilaksanakan, Aku mengajak Fiki untuk segera ke lapangan, tapi aku terkejut dengan jawaban si kulit hitam itu " Persetan dengan upacara bendera itu, apa gunanya kau melakukan itu setiap hari senin" dengan logat papua yang khas. Aku hanya bisa terdiam sejenak dan akhirnya ada kata yang keluar dari mulut ini " Ayolah bung, ini tempat kita mengingat pahlawan ", Fiki hanya tertawa kecil dan berjalan ke lapangan denganku. Sepulang sekolah aku mengajak salah satu temanku lagi namanya Umar, Aku tidak terlalu dekat tapi seingat ku dia rajin ibadah di masjid sekolah. Kami ketempat biasa bercengkrama sepulang sekolah, tempatnya tidak terlalu jauh hanya jalanan begitu ramai. Hanya kita bertiga disana, suasana terasa ramai di hari yang sunyi ini. Aku pulang ke rumah lebih awal memikirkan apa yang dimaksud Fiki di pagi itu.
     Dini hari Aku dibangunkan lagi oleh yang maha kuasa, waktu tepat menunjukkan jam 3:30. Aku teringat perkataan umar kemarin "Tuhan melakukan sesuatu pasti mempunyai tujuan". Aku tidak mengerti maksudnya apa tapi Aku mulai membaca buku tentang sholat tahajjud. Tidak seburuk yang aku pikirkan sebelumnya, Aku menikmati Sholatku memuji tuhan penguasa alam dan dilanjutkan oleh ibadah wajib setelahnya. Hari ini sekolah libur, tidak banyak yang bisa dikerjakan dirumah selain tidur. Fiki sedang ada acara di gerejanya, pasti tidak bisa diajak main keluar. Aku menghubungi umar mungkin saja dia bisa keluar, Aku juga ingin belajar darinya. Aku dan umar berjanji bertemu di tempat itu, tempat yang pernah ditakuti oleh teman - temanku karna banyak guru yang pergi kesana belakangan ini. Aku sudah sampai duluan memakan 2 bungkus mie rebus dengan mangkok jago dan garpu disertai suara motor vespa tua umar yang datang. Aku bercerita kepada umar tentang kejadian senin pagi di sekolah bersama fiki, Aku bertanya tanggapanya dengan upacara bendera. " Hey, mengingat pahlawan bukan hanya dengan upacara, datang ke makam, atau membaca biografinya saja, kita harus menjaga bangsa ini tetap kuat untuk maju terus berkembang melawan negara pemangsa ekonomi dunia" katanya dengan wajah yang berseri - seri bekas air wudlu. Sekarang aku paham kenapa Fiki kesal.
     Keesokan harinya Aku kerumah fiki seperti biasa, didapatinya dia tidak ada dirumah. "Fiki su pi sekolah Li" seru ibunda Fiki atau yang bisa diterjemahkan ke bahasa indonesia "Fiki sudah pergi sekolah Li" . Aku melihat Fiki di kelas dengan wajah senang namun merenung di bangku biasa ia duduki. Aku lalu mendekatinya dan menyampaikan maafku kepadanya tentang kejadian saat upacara bendera. Fiki melihat ku dengan wajah yang tenang "kenapa kau sudah terkena dogma itu". Aku diam saja dengan kebingungan, tiba - tiba dia lanjut berbicara dengan lantang "kau tahu kenapa upacara bendera tidak ada gunanya, rakyat indonesia beragam, otaknya pun beragam, ada yang pintar, ada yang kurang". Aku melihatnya dengan gugup " Apa maksudmu?" tanyaku. "kakek saya frans kaisiepo, orang papua pertama yang terlibat di konferensi malino, kau ingat denganya atau kau mungkin menjaga bangsa ini demi nya, tentu saja tidak" Fiki menjawab dengan bangganya.
     Bel istirahat berkicau kencang sampai terdengar gelegar di dalam dada tanda istirahat. Aku mengajak Fiki ke kantin, disana Aku bertemu Umar sedang makan ketoprak, menu kesukaanya sejak lulus sd. Kami bertiga mulai berdiskusi tentang perbedaan yang ada di indonesia ini. Fiki bertanya "jika saja aku atau orang papua lain mengajukan menjadi presiden berapa persentase akan menangnya?" Aku dan Umar hanya saling tatap tidak tahu harus menjawab apa. Dari sini aku sadar di Indonesia masyarakatnya belum terbuka dengan kebersamaan, belum terbuka tentang perbedaan. Mengakunya Indonesia tapi hanya peduli golongan sendiri.
     Kopi ku sudah habis dan bubur ayamnya sudah kusantap semua jadi begitu cerita luar biasa dari hari ku yang biasa, dapat kita sadari bahwa kita harus merubah pola pikir, tidak sekarang, tidak besok, tapi kita harus menjadi lebih baik hari demi hari. Ya mungkin besok aku coba lagi
   
   
   












Comments

Popular posts from this blog